STRATEGI KOMUNIKASI PENDAMPING DALAM PEMULIHAN TRAUMA ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL

(Studi Deskriptif Kualitatif Pendamping Dinas Sosial PPPA Kabupaten Nganjuk)

Gustian Putra Gumilang

Program Studi Ilmu KomunikasiFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya, Universitas Trunojoyo Madura

Email : gustianpg15@gmail.com

 

 

1.1  Latar Belakang Masalah

        Anak sebagai Generasi Penerus Bangsa yang merupakan aset yang harus dijaga hak serta kewajibanya dalam rangka menjaga keberlangsungan bangsa dan negara sesuai dengan UU No 35 Tahun 2014 oleh karena itu Setiap anak diwajibkan untuk mendapat perlindungan dan mendapatkan kesempatan untuk dapat tumbuh dan berkembang secara aman dan secara optimal baik secara fisik, mental, kesehatan, ekonomi sosial bahkan partisipasinya dalam perencanaan pembangunan. Namun dalam realita yang ada saat ini, hak hak anak yang telah diatur pada Konvensi Hak Anak di tingkat Internasional dan Undang Undang yang telah dibuat dan berlaku di Indonesia, Anak Anak Indonesia masih belum dapat tumbuh dan berkembang secara aman, nyaman dan secara optimal. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya data yang dipaparkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia tentang pelanggaran terhadap anak yang terjadi dan menjadi meningkat akhir akhir ini tentang kekerasan terhadap anak . Sepanjang Tahun 2022 lalu Kekerasan terhadap anak yang terjadi pada di Indonesia mengalami peningkatan dengan jumlah 14.517 kasus. Dan dilansir dari Simfoni PPA  Mayoritas kekerasan terjadi pada anak Usia anak dengan jenis kelamin laki-laki dengan jumlah 4.127 kasus dan jenis kelamin Perempuan dengan jumlah 13.514. Dengan data demikian dapat disimpulkan bahwa pelanggaran hak hak anak masih kerap dilakukan oleh banyak pihak, baik pihak eksternal (orang luar yang tidak dikenal) bahkan pihak internal (pihak orang sekitar anak bahkan keluarga terdekatnya. Dalam keluarga, anak merupakan tanggung jawab penting bagi kedua orang tuanya dalam hal membentuk kepribadian anak serta dalam hal perlindungan. Karena keluarga merupakan lingkungan pertama tempat anak tumbuh dan berkembang serta belajar berinteraksi. Dalam hal ini pemerintah mengeluarkan Undang-Undang tentang hak dan kewajiban anak, dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002, pasal 4 tentang hak dan kewajiban anak. Dimana dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 4 Tentang Hak dan Kewajiban Anak) Anak-anak yang kurang mendapatkan perlindungan, perhatian serta pembelajaran seks sejak dini dari kedua orang tuanya bukan tidak mungkin akan mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh predator anak yang tidak bertanggung jawab. “Kekerasan pada anak adalah suatu perbuatan kesengajaan yang dapat menimbulkan kerugian atau berdampak buruk kepada anak-anak (baik secara fisik maupun emosinya) menurut (Noviana, 2015). Bentuk kekerasan yang dialami oleh setiap anak dapat diklasifikasikan menjadi kekerasan secara fisik, psikologi, seksual dan sosial”

Menurut Yuwono dalam (Soraya, 2018) kekerasan seksual merupakan suatu kontak seksual yang tentunya tidak diinginkan korban kekerasan seksual, inti dari kekerasan seksual adalah “ancaman” dan “pemaksaan”. Kekerasaan seksual ini menjadi ancaman besar untuk para anak-anak, karena jika seorang anak mengalami kekerasan seksual maka akan terjadi perubahan signifikan di dalam diri anak tersebut. Baik itu dalam sikap, tingkah laku dan kebiasaannya, serta rasa traumatik yang sangat besar yang dapat mengganggu pribadi anak korban kekerasan seksual. Untuk itu para orang tua dan keluarga harus senantiasa memperhatikan perubahan pada diri sang anak. Sedangkan menurut Lyness dalam (Maslihah, 2006) kekerasan seksual terhadap anak meliputi tindakan menyentuh atau mencium organ seksual anak, tindakan seksual atau pemerkosaan terhadap anak, memperlihatkan media/benda porno, menunjukkan alat kelamin kepada anak dan sebagainya. Sejalan dengan hal itu menurut End child Prostitution in Asian Tourism (ECPAT) internasional, kekerasan seksual terhadap anak merupakan: Hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan seorang yang lebih tua atau orang dewasa seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dimana anak dipergunakan sebagai objek pemuas kebutuhan seksual pelaku.

  Berdasarkan penjelasan diatas, kekerasan seksual kepada anak adalah suatu bentuk pelampiasan seksual yang menjadikan anak sebuah objek pelampiasan yang dilakukan oleh predator anak yang dapat menimbulkan trauma bagi anak dan menimbulkan perubahan yang signifikan dalam diri anak, baik dalam psikis maupun emosinya.

       Menurut KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) kekerasan seksual adalah perbuatan yang dapat dikategorikan hubungan dan tingkah laku seksual yang tidak wajar, sehingga menimbulkan kerugian dan akibat yangs serius bagi para korban. Sedangkan menurut Undang Undang No 35 Tahun 2014 mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Kekerasan Seksual Terhadap Anak Merupakan tindakan perbuatan yang dikategorikan sebagai hubungan dan tingkah laku seksual yang tidak wajar terhadap anak dan menimbulkan kerugian yang serius bagi anak itu sendiri.

   Data yang tercatat pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) yang dikembangkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, yang penulis dapatkan pada tanggal 9 Oktober A2023. Pada tahun 2019 sudah terjadi sebanyak 88 kasus, dimana sebanyak. Pada Tahun 2020 sudah terjadi sebanyak 71 kasus. Pada tahun 2021 sudah terjadi sebanyak 45 kasus. Sedangkan pada tahun 2022 sebanyak 52 kasus. (Simfoni PPPA Kabupaten Nganjuk).

 

No

Jumlah Kasus Kekerasan Terhadap Anak

Tahun

1

  88 Kasus

2019

2

71 Kasus

2020

3

45 Kasus

2021

4

52 Kasus

2022

Tabel 1.1 Data Kasus Kekerasan Anak yang ditangani Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Nganjuk

 

Sumber : Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) Kabupaten Nganjuk

 

Berdasarkan data kasus pelanggaran hak anak yang terjadi Kabupaten Nganjuk sepanjang tahun 2022, Dinas Sosial PPPA Kabupaten Nganjuk mengungkap ada 52 kasus pelanggaran hak anak di Kabupaten Nganjuk dan diantaranya ada 22 Kasus kekerasan seksual yang terjadi dan dilakukan oleh orang orang terdekat korban. Dari 22 kasus tersebut penulis ingin mengangkat salah satu kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayah tiri korban yang berdampak pada perilaku trauma yang dirasakan korban ditandai dengan perilaku korban yang depresi, mengurung diri bahkan ada rasa ketakutan untuk bertemu orang lain. Dalam data yang didapat oleh peneliti usia anak yang rentan menjadi korban kekerasan seksual paling tinggi jika dilihat dari rentang usia korban pertahunnya adalah pada anak usia 13-17 tahun, dimana anak pada usia tersebut sudah masuk kepada rentang usia remaja.

        Dampak kekerasan seksual sangat merugikan kedua belah pihak, khususnya korban. Apalagi, dalam kasus ini yang menjadi korban adalah anak. (Noviana, 2015) mengungkapkan bahwa tentu saja akan menimbulkan dampak emosional serta fisik pada korbannya. Dampak dalam bentuk emosional biasanya anak yang menjadi korban kekerasan seksual akan mengalami stress, depresi, goncangan jiwa, serta adanya perasaan bersalah, dan menyalahkan diri sendiri, lalu anak akan merasa takut untuk berhubungan dengan orang lain, anak juga bisa mengalami mimpi buruk, bayangan dalam kejadian saat anak menerima kekerasan seksual akan membuat anak sulit tidur atau insomnia, serta anak akan ada rasa takut dengan hal yang berhubungan dengan berbagai hal seperti benda, bau, tempat, kunjungan dokter, masalah dengan harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan, keluhan somatik kehamilan yang tidak diinginkan, munculnya gangguan- gangguan psikologis dan yang paling parahnya anak akan melakukan tindakan bunuh diri dan akan menyebabkan kematian. Secara fisik, anak yang telah menjadi korban dari kekerasan seksual akan mengalami nafsu makan yang menurun, kesulitan untuk tidur, sakit kepala, dan ada rasa tidak nyaman khususnya di sekitar alat kelamin, dapat beresiko terkena penyakit menular seksual, adanya luka di bagian tubuh akibat kekerasan seksual.

Oleh karena itu pemulihan trauma kepada anak korban kekerasan seksual sangat penting dilakukan oleh pihak pihak berwenang seperti Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Berdasarkan penjelasan diatas bahwa salah satu Strategi Komunikasi yang dilakukan oleh Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Kabupaten Nganjuk adalah untuk meminimalisir dampak yang berkepanjangan adalah dengan memberikan pendampingan pada trauma yang dialami oleh anak korban kekerasan seksual. Pendampingan ini dilakukan dengan cara melakukan asesmen secara terlebih dahulu tentang bagaimana kondisi anak korban kekerasan seksual pasca kasus ini terungkap dan pasca mengalami kekerasan seksual oleh pelaku. Setelah mengetahui kondisi anak korban kekerasan seksual pendamping akan melakukan interaksi dengan pendekatan Komunikasi Interpersonal. Pendamping melakukan pendekatan dengan interaksi tatap muka dengan korban sehingga tercipta sebuah penyampaian serta penerimaan pesan secara langsung untuk menciptakan kepercayaan dan kenyamanan dengan menggunakan komunikasi interpersonal. Keterkaitan komunikasi interpersonal dengan pemulihan trauma yakni komunikasi dibangun atau digunakan untuk mendapatkan keterbukaan dalam proses pendampingan, keterbukaan tersebut merupakan sebuah jawaban dari rasa traumatik yang dialami oleh korban. Dari keterbukaan tersebut pendamping dapat menentukan metode pemulihan trauma yang tepat untuk kasus tersebut. Jadi, dengan adanya komunikasi interpersonal dapat memberikan manfaat bagi korban. Yang mana pendamping dapat menciptakan percakapan dengan pihak- pihak yang terlibat baik korban, orang tua, teman bahkan masyarakat yang berada di sekitar tempat tinggal korban. dalam proses pendampingan korban dapat menyampaikan pendapat serta pemikiran serta apa yang dirasakan untuk dapat ditinjau kembali pemikirannya bahkan diperbaiki atau diganti dengan lebih baik. Selain itu, dengan proses komunikasi interpersonal pendamping dapat memecahkan masalah sehingga dapat menemukan solusi terbaik yang diperlukan dalam pendampingan, dengan komunikasi interpersonal pihak yang terlibat akan merasa mendapat kenyamanan karena dapat didengar dan memberi pendapat hingga mendapatkan solusi atas rasa trauma yang didapatkan. Strategi Komunikasi ini juga berlaku untuk memastikan bahwa kondisi anak korban kekerasan seksual tidak hanya pulih dari trauma, namun juga diperlukan untuk memastikan kondisi lingkungan sekitar korban, baik lingkungan keluarga , lingkungan masyarakat maupun lingkungan sekolah tempat korban mendukung untuk mendorong anak korban kekerasan seksual dapat melanjutkan hidupnya dengan normal.

Berdasarkan data dan pemaparan yang telah peneliti uraikan diatas, strategi dan keterampilan komunikasi harus dimiliki dan dikuasai dengan baik dan benar oleh para pendamping dalam menjalankan peranya sebagai konselor dalam pemulihan trauma anak korban kekerasan seksual. Bentuk strategi komunikasi dalam pendampingan juga harus mampu untuk diberikan oleh pendamping dari Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Kabupaten Nganjuk dalam segala bentuk kasus kekerasan yang dihadapi khususnya kasus kekerasan seksual pada anak, apalagi pendamping akan memasuki ruang pribadi si anak yang menjadi korban kekerasan seksual dimana hal tersebut sebenarnya merupakan hal yang sangat sensitif bagi korban dan dianggap sensitif juga oleh masyarakat. Maka dari itu, peneliti tertarik ingin mendeskripsikan bagaimana penerapan “Strategi Komunikasi Pendamping Dalam Pemulihan Trauma Anak Korban Kekerasan Seksual (Studi Deskriptif Kualitatif Strategi Komunikasi Pendamping Dinas Sosial PPPA Kabupaten Nganjuk)”.